Resensi Buku: Novel Buya Hamka Karya Ahmad fuadi

Written by:


1. Identitas Buku

Judul: Buya Hamka ; Sebuah Novel Biografi

Penulis: Ahmad Fuadi

Penerbit: PT Falcon

Tahun Terbit: Cetakan pertama, Desember 2021.

                      Cetakan kedua, April 2022

                       Cetakan ketiga, November 2022

Tebal Halaman: 364 Halaman

ISBN: 978-602-6714-73-2

2. Pendahuluan

Tokoh utama dalam cerita ini merupakan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang memilki nama pena HAMKA. Hamka merupakan ulama, atau biasa lebih dikenal sebagai tokoh/aktifis Muhammadiyah. Beliau tidak hanya seorang ulama tetapi juga seorang filsuf, dan sastrawan. Terbukti dari buku nya yang berjudul ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’ dan ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ yang begitu terkenal. Tak lupa ‘Tafsir Al-Azhar’ yang ditulis secara langsung oleh Hamka.

Buya Hamka juga bergabung di partai politik yaitu Masyumi, dan menjabat sebagai Ketua Majemis Ulama Indonesia (MUI) pertama. Buya Hamka mendapat gelar doktor kehormatan sebab beliau selalu aktif dalam hampir seluruh kegiatan Muhammadiyah dan ilmu serta pidato pidato nya yang selalu menakjubkan.

Buya Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Sumatra Barat. Ayahnya merupakan ulama besar di Maninjau bernama Haji Rasul yang bercita-cita akan menjadikan Hamka penerus nya dan belajar di Mekkah selama 10 tahun. Namun cita-cita Haji Rasul harus pupus lantas Hamka kecil yang kurang menikmati belajar agama.

3. Isi

Pada awal buku Hamka kecil mencari jati dirinya, ia sibuk mencari sesuatu yang disukai nya. Ayah dan ibunya yang sering pergi berdakwah membuatnya selalu bersama pamannya, mengajari Hamka kecil silat dan sastra minang. Hamka kecil selalu hormat kepada ayahnya, Haji Rasul. Sehingga Hamka kecil menuruti keinginan ayahnya untuk belajar ilmu agama walau dia tidak menikmati masa belajarnya. Hamka lebih suka bermain bersama teman-temannya. Hingga saat datang kabar bahwa ayahnya menceraikan ibunya, hidupnya menjadi malang. Hamka kecil merasa kehilangan panutannya, malas sekolah, malas mengaji, hanya melamun.

Hingga pada umur 15 tahun, Hamka nekat pergi merantau ke pulau Jawa sebab ia merasa ilmunya bisa bertambah dipulau yang penuh tokoh perjuangan itu. Namun setibanya di Bengkulu ia terkena sakit cacar lalu disusul malaria. Wajah dan perawakan Hamka berubah dan membuatnya semakin tidak percaya diri, akhirnya ia memutuskan ijin kepada Haji Rasul untuk pergi merantau ke pulau Jawa, Haji Rasul menyutujuinya. Berangkatlah Hamka ke pulau Jawa bersama pamannya. Hamka belajar dan berpidato, membuat takjub banyak orang. Namun ketika pulang kampung, Hamka kembali dijatuhkan oleh ayahnya sendiri, Haji Rasul berkata bahwa pidatonya hebat tapi tidak berisi. Selain itu, dia ditolak sebagai guru di sekolah Muhammadiyah dan seorang gadis yang sudah dijodohkan dengannya menikah dengan orang lain.

Hamka memutuskan untuk pergi ke Arab, ke Mekkah. Seperti apa yang diinginkan ayahnya, namun tanpa memberi tahu Haji Rasul, Hamka hanya ijin pamit menuntut ilmu sejauh mungkin. Dengan bantuan dari nenek dan teman temannya Hamka pergi ke Mekkah menaiki kapal bersama orang yang akan berhaji. Di Mekkah, setelah berhaji Hamka bimbang akan pulang ke Indonesia atau menetap di Mekkah mencari ilmu selama 10 tahun sesuai yang ayahnya inginkan. Pikiran Hamka terbuka setelah bertemu Agus Salim, setelah setengah tahun Hamka di tanah Arab akhirnya Hamka pulang ke Indonesia.

Lalu sepulangnya Hamka dari berhaji, ia berjuang melewati tulisan. Mengumpulkan uang dengan cara menulis di koran tentang pengalaman selama dia berhaji, lalu menulis cerita roman yang bersambung dan menerbitkannya menjadi buku. Walau pada akhirnya ia diminta pulang oleh Haji Rasul ke kampung, Hamka meninggalkan penerbitan buku itu dengan berat hati.

Kehidupan Hamka berlanjut, ia dinikahkan ayahnya dengan Siti Raham, lalu merantau ke Makassar untuk memperbesar ranah Muhammadiyah. Yang awalnya hanya seorang diri hingga membawa Siti Raham dan kedua anaknya. Disana juga Hamka mendapat tawaran menjadi tuan redaktur di Medan, bernama Pedoman Masyarakat.

Setelah itu, Jepang datang ke Indonesia. Dengan segala tipu daya Jepang menjanjikan Indonesia Merdeka. Dalam keadaan ini Hamka dibuat mendesak, ia berdekatan dengan pemerintah Jepang agar syiar dakwahnya tidak dihalangi namun ia mendapat banyak musuh dari bangsa sendiri. Masyarakat mengira bahwa Hamka egois, ia hanya memanfaatkan bangsa untuk mendapat jabatan di pemerintah Jepang.

Saat di Medan ketika Indonesia telah Merdeka ia dikira melarikan diri sebab dia ingin menuju Bukittinggi bertemu tokoh perjuangan. Sejak itu, pidato pidato Hamka tidak didengar. Pada rapat Pimpinan Daerah Muhammadiyah mereka sepakat tidak lagi percaya pada Hamka sebab meninggalkan kewajiban sebagai seorang pemimpin. Hamka berpindah ke Padang Panjang, memilih mundur menjadi Konsul Muhammadiyah Medan sebab mendapat gertakan dari kawan kawannya.

Pada Desember 1949, setelah secara resmi Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Hamka berpindah ke Jakarta, melanjutkan keahliannya yaitu menulis. Di masa itu juga, Soekarno menerapkan ide Demokrasi Terpimpin sehingga kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi itu. Ketika itulah Bung Hatta tidak sejalan dengan Bung Karno, begitupula Hamka.

Di Jakarta Hamka juga membangun masjid yang akan menjadi ladang juang nya, berdakwah islam. Masjid itu menjadi masjid terbesar masa itu, Masjid Al-Azhar memiliki begitu banyak jamaah, dari berbagai suku dan ras. Ketika itulah Hamka mendapat gelar doktor kehormatannya. Dengan kesuksesannya itu Hamka kembali membuka penerbitan, bernama Panji Masyakarat. Namun penerbitan itu mendapat kecaman langsung dari Soekarno setelah Panji Masyarakat memuat tulisan Bung Hatta tentang kritikannya kepada pemimpin Indonesia pertama itu. Panji Masyarakat dipaksa tutup.

Lalu pada Januari 1964, Hamka ditangkap menjadi tahanan politik. Delapan bulan lamanya, Hamka diinterogasi dan menjadi tahanan tanpa diadili. Lalu pada suatu hari, ketika Hamka sakit ia dipindahkan ke rumah sakit. Disanalah ia mulai merasa tenang sebab istri dan anaknya lebih leluasa menjenguknya. Lalu pada 1 Oktober 1965 terjadi peristiwa penculikan para jenderal, yang sekarang dikenal sebagai Gerakan 30S PKI. Lama kelamaan alasannya sebagai tahanan politik melemah, ia berangsur angsur bebas sesuai perintah dari Soeharto.

Di tahap terakhir Soekarno dan Siti Rahman meninggal. Ketika Soekarno meninggal Hamka menjadi imam sholat jenazah nya. Lalu saat istrinya meninggal Hamka sedih dan terpukul, makan dan minum tak mau membuat anak anak nya khawatir. Setahun setelah itu Hamka menikah lagi dengan Siti Khadijah sebab diminta oleh anak anaknya, Hamka berangsur angsur pulih. Membaiknya Hamka hingga Orde Baru pemerintah meminta Hamka menjadi ketua MUI, keputusannya itu ia rundingkan bersama Rusyid, anaknya dan melakukan sholat istikharah.

Disisa hidupnya Hamka mengalami sakit jantung, juga penyakit gula yang membuatnya harus mengurangi kesibukannya atas saran dokter. Lalu pada 17 Februari 1981 Hamka meluncurkan Tafsir Al-Azhar 30 Juz yang ditulisnya sendiri dan selesai ketiika ia menjadi tahanan. Hamka juga diminta untuk melanjutkan jabatannya sebagai ketua MUI namun Hamka menolak atas konsultasinya langsung dengan Allah.

4. Keunggulan Buku

Buku ini memiliki informasi tentang tokoh Buya Hamka yang begitu menginspirasi. Kisah perjalanan Buya Hamka yang penuh perjuangan dan cobaan mengandung banyak amanat. Lewat buku ini juga kita bisa merasakan hidup Buya Hamka seperti di film, religi sebagai latar belakang, mendebarkan ketika masa perjuangan dan perang dengan penjajah, dan film romantis yang manis dihati. Buya Hamka merangkap menjadi penulis roman, ulama besar dengan cara menulis tafsir, lalu menjadi gerilya melawan Belanda dan Jepang hingga sekarang diangkat menjadi Pahlawan Nasional.

5. Kekurangan Buku

Beberapa bab yang disajikan sedikit susah dipahami, walau Bahasa yang digunakan ringan dan tidak begitu baku. Sebab beberapa bab berisi tentang perjuangan dan politik. Tapi buku ini sekilas seperti tidak memiliki celah, dari segi apapun sudah sangat baik.