Saat diumumkan bahwa penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah menengah atas di Surakarta dengan beasiswa dari Depag (waktu itu), ada rasa bahagia menyeruak dalam diri. Membersamai siswa-siswa terbaik dari berbagai kabupaten/kota di berbagai penjuru Jawa Tengah. Sekolah berbeasiswa, dengan berbagai ekspektasi yang tinggi. MAPK Solo.
Orientasi dan pengenalan sekolah yang lumayan mencekam dan menegangkan. Kesan “Bonoloyo” nya sangat lekat. Tapi figur-figur kakak kelas yang ramah, lucu, serius dan macam-macam membuat dinamika hidup menjadi seru. Pelan namun pasti, ekspektasi tinggi itu menjadi sebuah realita yang sebagian tak sesuai dengan harapan. Namun yang sangat luar biasa adalah suntikan motivasi yang bertubi-tubi dari asatidz yang mukhlis, sangat mengayomi dan inspiratif. Kombinasi antara yang tua dan yang muda menjadikan kami berada di titik temu yang dahsyat. Kombinasi alumni Timur Tengah dan Australia, menjadikan kami dipenuhi harapan dan mimpi-mimpi. Kombinasi para guru alumni dalam dan luar negeri menjadikan kami melihat jejaring yang luas, sekalipun waktu itu bahkan belum ada alumni MAPK, karena angkatan pertama baru akan di wisuda tahun berikutnya.
Jika mimpi sekolah ke luar kota sudah terwujud, maka saatnya mimpi untuk sekolah di luar negeri sangat jelas nampak di depan mata. Tinggal memilih saja ke mana mimpi itu hendak diteruskan.
Adalah almarhum ustadz Rasyidi Asyrofi yang sangat menginspirasi penulis untuk meneruskan mimpi berikutnya. Visualisasi juz mangga di lorong-lorong Kota Cairo ketika musim panas tiba sangatlah nampak seperti nyata. Ruwaq-ruwaq Masjid al-Azhar turut memenuhi ingatan penulis mengenang kisah beliau. Kokohnya piramida dan masjid-masjid tua, adalah cerita petualangan lain yang menambah daya ingin menyambangi kota bersejarah itu. Alhamdulillah, mimpi ke sana pun menjadi nyata. Bahkan, menetap cukup lama, selama 5151 hari menimba ilmu di salah satu lembaga pendidikan tertua di dunia; Universitas Al-Azhar di Cairo, Mesir.
Tanga-tangga mimpi itu perlu dinaiki secara bertahap. Kata beasiswa yang membuai harus dihadapi realitanya. Angka 17.000 yang sakral itu menjadi angka harapan sekaligus kenangan. Harapan karena kondisi orang tua penulis sangat terbatas, terutama kondisi ekonomi. Akhirnya, penulis terpaksa pontang-panting ke mana-mana untuk menutupi ekspektasi tentang makna beasiswa tadi.
Lomba menulis, lomba pidato, lomba kaligrafi adalah berbagai macam cara untuk menambah perbekalan dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari Lembaga pemerintah seperti Depdikbud Surakarta hingga Jawa Tengah, atau kampus-kampus seperti yang terdekat; UNISRI, kemudian UNS, UGM , UNDIPdan IAIN Sunan Kalijaga adalah kampus-kampus yang menjadi tangga-tangga mimpi untuk menyambung mimpi berikutnya. Sejujurnya, motivasi utama penulis mengikuti berbagai macam jenis perlombaan adalah nominal rupiah hadiah pemenangnya. Yaitu untuk membantu tetap bertahan (survive). Itulah mungkin yang menjadikan penulis sedikit tertutup dan cenderung menikmati kesendirian dengan buku-buku bacaan. Baik di ruang kelas atau saat di kamar. Ada rasa sesal di kemudian hari, karena kurang puas bergaul dan bercengkrama dengan teman-teman. Tapi, sesungguhnya faktor utamanya adalah karena kondisi.
Terlihat seperti paradoks, penulis merasa menjadi individu yang introvert, namun di saat yang sama karena kondisi dituntut untuk berpetualang ke mana-mana. Alhamdulillah, hal tersebut ternyata bermanfaat di kemudian hari untuk tetap melanjutkan jiwa petualang dan memiliki hobi traveling. Adalah kisah-kisah perjalanan para guru yang menjadi motivasi penulis. Keinginan penulis untuk menjelajah dunia pun sedikit demi sedikit menjadi kenyataan.
Kondisi di perantauan pun membuat diri penulis mau tak mau harus bergaul setidaknya dengan beberapa orang. Hal ini juga menumbuhkan semangat untuk bersosial. Apalagi secara kelembagaan kegiatan-kegiatan ekstra sangat mendukung hal tersebut. Mengajar TPA di Masjid Darussalam adalah salah satu aktualisasi diri yang sangat berkesan. Aktif di Majelis Pengembangan Tilawah al-Quran (MPTQ) MAN1 Surakarta juga semakin menumbuhkan kecintaan terhadap al-Quran. Ditambah program dakwah Ramadan yang secara rutin dilakukan, merupakan pengalaman untuk berbaur dengan masyarakat dan mengenal berbagai macam karakter/watak manusia.
Di antara yang sangat penting untuk disebut adalah kompetensi berbahasa asing, yaitu Bahasa Arab dan Inggris. Muhadharah tiga bahasa, pembekalan mufradât dan vocabulary setelah kultum subuh atau muhâdastah, kemudian pertemuan dengan asatidz dan guru-guru bahasa yang berkompeten di bidangnya, menjadi motivasi tambahan untuk lebih menguasai kedua bahasa asing tersebut. Suasana kompetitif yang terus ada dalam iklim akademik menjadikan semangat belajar relative stabil dan terus terpacu.
Adapun momen kebersamaan yang paling berkesan selama berada di samping Bonoloyo ini ada empat (4) peristiwa:
- Menjadi sekretaris OPPK. Pengalaman mengelola organisasi menjadi bekal yang bermanfaat pada saat menapaki jenjang berikutnya, terutama saat perkuliahan dan ketika berkhidmah di tengah masyarakat.
- Menjadi Panitia PRISLAKS (Pesantren Remaja Intensif Sekolah Lanjutan Atas se-Karesidenan Surakarta). Pahit manis menghadapi kendala teknis dan non teknis sangat luar biasa. Terutama keluar masuk gedung menyampaikan proposal kegiatan dan permohonan dana. Bahu membahu antar panitia menjadi sebuah pengalaman mahal yang tak ternilai.
- Demo menentang Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) yang merupakan kelanjutan dari Porkas, judi olahraga sepakbola di tanah air. Demo memprotes Menteri Sosial dan penghelola SDSB ini juga terjadi berbagai kota di Indonesia sejak tahun 1991. Adapun yang ini sedikit nakal, karena membolos meninggalkan kelas untuk ikut berpartisipasi dalam demo besar-besaran di pusat kota Surakarta pada tahun 1993.
- Berjalan kaki ke Prambanan di akhir tahun 1994 dan di awal tahun 1995. Perjalanan ini berkesan karena menjadi semakin mengenal satu persatu teman perjalanan. Menyemangati yang tertinggal, tersemangati saat letih dan kaki terluka atau bengkak karena semalaman berjalan.
Adapun kesan mendalam yang tak terlupa adalah suasana harus saat Kalimatul Wada’, pelepasan dan Wisuda di 30 Juni 1995. Betapa sangat terasa persaudaraan dan kesatuan yang sangat kuat di antara siswa yang digembleng selama hampir tiga tahun lamanya.
Memori persaudaraan dan keteladanan dalam menuntut ilmu selama tiga tahun yang dipadu oleh berbagai kegiatan menjadi bekal penting bagi penulis di jenjang-jenjang berikutnya. Inilah sepenggal kenangan dari Bonoloyo, 1992-1995.
Rumah Cinta, Jakarta
11 Dzulhijjah 1441 H / 01 Agustus 2020 M
Dr. Saiful Bahri, M.A.
Ketua Program Studi Doktor Manajemen Pendidikan Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
____________________________
*) Penulis adalah alumni MAPK Solo angkatan ketiga (1995). Meneruskan pendidikan S1, S2 dan S3 di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Pernah melakukan penelitian, seminar, safari dakwah dan kemanusiaan ke berbagai kota di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Belanda, China, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Malaysia, Mesir, Palestina, Perancis, Saudi Arabia, Singapura, Skotlandia, Swiss, Tunisia, Turki dan Yordania. Kini menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan sebagai Wakil Ketua Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam di Majelis Ulama Indonesia. (www.saifulelsaba.wordpress.com/profil)