Dalam perjalanan sejarah manusia, pencarian terhadap kebenaran mutlak selalu menjadi misi utama para filsuf, ilmuwan, hingga para nabi. Setiap agama hadir dengan klaim kebenaran, namun pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah semua agama sama-sama benar, ataukah ada satu yang lebih sesuai dengan akal dan fitrah manusia? Jika ditelusuri secara mendalam, Islam tampil bukan hanya sebagai ajaran iman, tetapi juga sebagai jalan hidup yang dapat dibuktikan dengan logika, akal sehat, dan pengalaman empiris manusia.
Salah satu pilar utama Islam adalah tauhid, keyakinan bahwa Allah itu Esa, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tiada sekutu bagi-Nya. Dari sudut pandang logika filsafat, konsep ketuhanan yang satu lebih masuk akal dibanding konsep banyak tuhan. Jika ada lebih dari satu tuhan, maka kehendak mereka berpotensi bertentangan, dan semesta akan kacau. Al-Qur’an menegaskan, “Seandainya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah binasa” (QS. Al-Anbiya: 22). Argumen ini selaras dengan prinsip Occam’s Razor dalam filsafat: penjelasan paling sederhana dan paling rasional cenderung mendekati kebenaran.
Islam juga menekankan keselarasan antara wahyu dan akal. Banyak agama menuntut keimanan buta, sementara Islam justru mengajak manusia berpikir. Al-Qur’an berulang kali menggunakan kata ‘aql (akal) dan mengajak manusia bertafakkur serta bertadabbur. Contohnya dalam larangan menyembah berhala: menyembah benda yang bisa rusak atau bahkan diciptakan manusia sendiri adalah kontradiksi logis. Akal sehat menolaknya, dan wahyu menegaskan kebatilan perbuatan itu. Dengan demikian, ajaran Islam tidak menafikan rasio, melainkan menempatkannya sebagai jalan menuju pengakuan akan kebenaran wahyu.
Di sisi lain, Islam bukan hanya agama ritual, melainkan sistem moral dan sosial yang universal. Syariatnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Prinsip keadilan, larangan riba, kewajiban zakat, hingga etika menjaga lingkungan menunjukkan bahwa Islam membawa sistem etika yang menyeluruh, selaras dengan kebutuhan manusia di semua zaman. Apa yang dicari filsafat moral sebagai aturan universal sebenarnya sudah terjawab dalam Islam sejak 14 abad lalu.
Keunggulan lain Islam adalah keaslian wahyu. Kitab-kitab suci agama lain banyak mengalami perubahan dan perbedaan versi, sementara Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya sejak diturunkan. Dari perspektif epistemologi filsafat, keaslian sumber pengetahuan merupakan syarat sah sebuah klaim kebenaran. Maka, Al-Qur’an memiliki dasar epistemologis yang lebih kuat dibanding teks suci agama lain.
Lebih dari itu, Islam sejalan dengan fitrah manusia. Fitrah manusia selalu mencari makna hidup, keadilan, dan kebahagiaan abadi. Islam menjawab pertanyaan mendasar itu: dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan kembali. Islam mengajarkan bahwa hidup adalah amanah, dunia hanyalah tempat singgah, dan akhirat adalah tujuan akhir. Bandingkan dengan filsafat sekuler yang sering berujung pada nihilisme atau agama-agama lain yang menyisakan pertanyaan metafisik tak terjawab.
Maka, melalui tinjauan akal, logika filsafat, dan bukti historis, Islam bukan sekadar agama yang menuntut iman, melainkan kebenaran universal yang bisa diuji dengan rasio, dipelajari dengan ilmu, dan dirasakan dalam kehidupan. Islam menyatukan iman dan akal, wahyu dan logika, fitrah dan realitas. Dengan semua itu, Islam layak disebut bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai jalan hidup paling rasional, universal, dan lurus dalam hal akidah ketuhanan.