Ketika Iman Dipertanyakan: Krisis Spiritual di Tengah Era Digital

“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.(Hadis, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman)

Di era modern yang penuh kecanggihan teknologi, manusia dihadapkan pada tantangan baru: krisis spiritual. Banyak orang yang semakin jauh dari nilai-nilai keislaman karena terbuai oleh kehidupan digital yang serba cepat dan materialistis. Fenomena ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Al-Jatsiyah ayat 23: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” Ayat ini menegaskan bahwa ketika manusia menjadikan kesenangan dunia sebagai tujuan utama, maka ia terancam kehilangan arah hidup dan makna keberadaannya.

Salah satu akar krisis iman adalah hilangnya kesadaran diri (muraqabah) terhadap Allah. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Konsep ini menunjukkan bahwa kekuatan iman tidak hanya terletak pada ritual, tetapi pada kesadaran batin yang mendalam. Studi dari Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa praktik spiritual yang disertai refleksi diri mampu meningkatkan ketenangan batin dan mengurangi stres hingga 40%.

Islam tidak hanya mengajarkan keimanan secara dogmatis, tetapi juga mendorong umatnya untuk berpikir kritis dan berilmu. Dalam Surah Al-‘Alaq ayat 1–5, wahyu pertama menekankan pentingnya membaca dan belajar. Pengetahuan menjadi alat untuk memahami keagungan ciptaan Allah. Karena itu, krisis spiritual sering muncul bukan karena kurangnya agama, tetapi karena lemahnya kesadaran intelektual terhadap nilai-nilai Islam. Ulama besar Al-Ghazali pernah berkata, “Ilmu tanpa iman adalah kesesatan, dan iman tanpa ilmu adalah kelemahan.”

Menghadapi krisis iman, solusinya bukan sekadar meningkatkan ibadah lahiriah, tetapi juga memperdalam makna ruhaniyah. Al-Qur’an mengingatkan dalam Surah Ar-Ra’d ayat 28: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Dengan memperbanyak dzikir, tadabbur ayat-ayat Allah, dan memperkuat ukhuwah Islamiyah, umat Islam dapat menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Sebab, Islam bukan sekadar agama, melainkan jalan hidup yang menyatukan akal, hati, dan amal untuk mencapai kebahagiaan sejati.